<center>![bioskop.jpeg](https://steemitimages.com/DQmemHQYh1d7RbWDL6B7hTKyQ1zMY9YLMo9Gg3adXN6PM4Q/bioskop.jpeg)</center>
<center>*Penonton dipisah antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan dikursi tengah untuk keluarga. Foto oleh @suhiel*</center>

 Sebenarnya tulisan ini ingin saya tulis dengan serius. Apa yang saya rasakan sebagai bagian dari pembuat film, penonton film, anggota komunitas film, panitia festival film ketika setelah selesai perhelatan Aceh Film Festival 2017. Namun, tulisan serius hanya akan dibaca oleh orang yang serius pula. Menimbang hal tersebut, akhirnya saya ingin tulis saja tulisan *random* terkait potongan-potongan yang hadir dalam fikiran terkait animo, kritik, dan hal-hal lainnya.

# Apresiasi 

Aceh Film Festival telah diadakan sejak tahun 2015. Berarti tahun 2017 ini adalah tahun ketiganya. Aceh Film Festival (kemudian akan saya singkat dengan AFF) pertama difokuskan untuk apresiasi terhadap film-film yang diproduksi oleh film maker Aceh dan luar Aceh. Hal ini tampak dari program-program yang dihadirkan: Screening dan Submisi film untuk dipilih menjadi film terbaik dengan berbagai kategori. Pilihan tersebut muncul karena pertimbangan akan perkembangan film di Aceh berdasarkan hasil kurasi yang dilakukan oleh panitia festival. Kesimpulan yang dapat mereka ambil adalah, film yang diproduksi secara indie dengan biaya gotong royong di Aceh butuh apresiasi juga ruang putar yang layak. Dari sinilah, AFF tahun pertama fokus kepada screening dan submisi film untuk dipilih menjadi film terbaik. Walaupun demikian, untuk ajang silaturrahmi pelaku film, juga diadakan Forum Komunitas. Disana adalah tempat berdiskusi antar komunitas film yang ada di Aceh. Ini sangat bermanfaat bagi perkembangan komunitas film dalam mendongkrak kinerja mereka. Kebetulan ada juga spesial screening (pemutaran film bioskop nasional), yaitu film Mencari Hilal (Ismail Basbeth). Ismail Basbeth juga hadir sebagai sutradara bersama Taufan Agustian (Sutradara film Darah Biru Arema) dan Tedika Puri Amanda (Eagle Institute). Diskusi Forum Komunitas dipandu oleh Taufan Agustian, beliau sudah sangat berpengalaman dalam berbagai komunitas film di Malang.

<center>![bioskop2.jpeg](https://steemitimages.com/DQmbea2zCCiu9HCLNGuLrgdeky8HdeXNXJKi6dD3ka3ySsQ/bioskop2.jpeg)</center>
<center>*Foto oleh @suhiel*</center>

# Komunitas Film

Pada tahun berikutnya, AFF yang kedua. Para kurator festival sepakat untuk fokus pada komunitas film. Animo para film maker yang tergabung dalam komunitas film di seluruh Aceh di undang ke Banda Aceh. Bagaimana kelanjutan Festival Film ini yang merupakan milik bersama komunitas-komunitas film di Aceh, ini yang menjadi pokok utama diskusi. Kemudian siapa yang produksi film? kemana dibawa setelah di produksi? Hal ini menjadi penting dibicarakan karena merupakan alur yang akan dilalui sebuah film. Setelah film diproduksi, ia membutuhkan penonton. Apakah dengan sistem *ticketing* atau tidak. Begitu pula sistem distribusinya. Sebagai pemantik diskusi, saat itu hadir Adrian Jonathan dari Cinema Poetica yang juga mengisi Kelas Kritik Film. BW Purbanegara yang hadir mengisi program screening film-film pendeknya. Dan juga Emil Heradi, T.Rifnu sebagai produser film Night Bus yang saat itu masih dalam proses produksi dan AFF sebagai tempat pertama diputarnya trailer film tersebut. 

<center>![fauzan santa.jpeg](https://steemitimages.com/DQmdqNAQrMKg1J7opD3F5aL3QoHi9o6m2CztwSpHMGNF3nz/fauzan%20santa.jpeg)</center>
<center>*Fauzan Santa, Presiden Festival,  sedang menjelaskan bioskop jaman dulu di Aceh melalui sebuah lukisan (sketsa)*</center>

# Bioskop

Kemarin baru saja selesai perhelatan AFF yang ketiga kalinya. Kali ini programmer dan kurator festival mencoba mengangkat isu *animo menonton* film masyarakat Aceh. Isu ini dirasa perlu di angkat dalam festival karena polemik bioskop di Aceh yang menjadi isu terhangat terkait perfilman. Festival mengahadirkan dua film nasional sebagai bagian dari program spesial screening. **Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak** dan **Night Bus**  adalah kedua film yang diputar. Panitia yang membuka registrasi online bagi penonton mencatat ada sekitar 800 penonton untuk film Marlina dan 1000 untuk film Night Bus. Dengan menggunakan Taman Budaya sebagai venue pemutaran, AFF telah berhasil menarik perhatian masyarakat yang penasaran dengan dua film tersebut. Apalagi dua film itu baru saja memenangkan berbagai festival dalam dan luar negeri. Kemudian pertanyaan yang hadir dalam hati saya adalah: apakah penonton tersebut memang menginginkan bioskop di Aceh?

<center>![Proses registrasi.jpeg](https://steemitimages.com/DQmWYEd9S8gho7wdNfaLn6d29tZwF9bcM8KPw9WXTE2bmL2/Proses%20registrasi.jpeg)</center>
<center>*Proses registrasi penonton spesial screening*</center>

 Sebenarnya, dengan tidak adanya bioskop di Aceh dalam rentang waktu ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk mengangkat potensi film lokal. Selama ini, film Aceh yang diproduksi dan dijual dalam bentuk kepingan VCD laku keras. Namun, film tersebut jelas tidak bisa bersaing ditingkat yang lebih luas. Dengan jumlah komunitas film (film maker juga) yang semakin banyak bisa di dongkrak untuk produksi film yang lebih baik. Usaha bisa dimulai dengan pembekalan sumber daya, menggali ide cerita (Ide cerita di Aceh sangat banyak, luas dan berpotensi menurut film maker luar Aceh) juga membantu proses produksi. Hal yang sangat penting pula adalah, memfasilitasi pemutaran. Jika memang suatu saat jaringan bioskop seperti Cinema XXI atau CGV ada di Aceh, film maker Aceh siap untuk mendapatkan layar jikapun bersaing dengan film hollywood dianggap susah. Tapi regulasi yang baik, bisa mendongkrak film yang diproduksi lokal. Sebagaimana yang terlihat di Yogyakarta. Mereka punya dua festival besar, JAFF-Netpac Asian Film Festival dan Festival Film Dokumenter (juga Festival Film Pelajar Jogja-FFPJ) di samping jaringan bioskop seperti Cinema XXI. Film panjang mereka juga mendapat layar di jaringan bioskop tersebut. Sutradara film panjang mereka berasal dari komunitas-komunitas film yang bergerak bersama. Film maker akar rumput, begitu biasa di sebut. 

<center>![animo penonton.jpeg](https://steemitimages.com/DQmZBSdiP2x4smLJ5nyYtR4TYqqLooMjvEvwQxtMJQ4uuqk/animo%20penonton.jpeg)</center>
<center>*Animo menonton masyarakat Aceh dalam foto*</center>

Tradisi film di Aceh harus dibentuk sedemikian rupa dan didiskusikan secara bermartabat. Aceh Film Festival hadir untuk memfasilitasi solusi-solusi untuk masalah-masalah di atas. Sebagaimana kita ketahui, bioskop di Aceh bukan hal yang baru hadir. Ianya telah ada sebelum dua peristiwa besar yang terjadi di Aceh (Konflik dan Tsunami). Berpolemik terhadap setuju atau tidaknya dibangun bioskop di Aceh harus dibahas dengan profesional dan sungguh-sungguh. Jika mempertimbangkan alasan syariat, maka Aceh Film Festival sudah memperlihatkan model yang ideal terhadap hal tersebut. 
Tulisan sangat ringkas ini saya tulis berdasarkan pandangan saya sebagai pembuat film, penonton film, juga bagian dari komunitas film di Aceh dalam memandang Aceh Film Festival. Masih banyak yang ingin saya sampaikan. Mungkin kawan-kawan pembaca bisa memberi tanggapan agar mejadi bahan yang bermanfaat bagi semuanya terkait informasi.