<center>http://bookrak.kanotbu.com/wp-content/uploads/2018/07/IMG_20180627_183543.jpg</center> <br/>PADA MASA ketika tentara masih tinggal, jaga dan tidur dan onani dan lain sebagainya di pos. Di mana setiap hari mereka keluyuran di kampung kami dan kampung sebelah, juga di kampung-kampung yang lain sambil memamerkan senjata. Orang-orang di kampung kami dibuat terbiasa menggotong tubuh-tubuh keluar dari parit dengan keberadaan mereka. Bukan dari parit saja. Kadang orang-orang kampung mengangkatnya setelah menemukannya mengapung di tambak ikan, di rawa-rawa, dekat kandang ayam milik warga, atau bahkan kerap pula di badan jalan yang ketika musim hujan penuh dengan kubangan lumpur.
Semua yang pernah mereka gotong adalah tubuh-tubuh yang telah kaku dengan darah mengering di sekujurnya. Atau bahkan ada organ-organ tubuh tertentu yang sudah hilang entah kemana. Banyak pula di antaranya telah beraroma busuk menusuk hidung. Biasanya orang-orang kampung membawa tubuh yang mereka gotong itu ke <em>meunasah</em>. Di sana mereka memandikannya, memberinya pakaian dengan <em>ija</em> kafan, menyembahyangkannya, lalu menguburkannya di tanah pekuburan belakang kampung.
Itu dilakukan hanya dalam waktu setengah hari. Tidak lebih dari tiga atau empat jam saja. Jika tubuh yang ditemukan pukul enam subuh, maka segala ritual bagaimana memperlakukan tubuh-tubuh kaku itu selesai pada pukul sepuluh pagi. Orang-orang yang sebelumnya berbagi tugas menjadi juru pemandian, juru pengafanan, dan juru gali kubur dengan sigap bekerja tanpa banyak berkomentar atau bertanya-tanya. Setelah sama-sama melakukan sembahyang dan penguburan mereka kembali pada kesibukannya masing-masing seperti biasa. Seolah-olah tak pernah ada kejadian apa-apa beberapa jam sebelumnya.
Tubuh-tubuh yang dikuburkan itu, hampir semuanya, adalah tetubuh tak beridentitas. Tak dikenali oleh orang-orang kampung, hingga pengurusan kifayah terhadapnya berlangsung tanpa isak tangis. Tak ada ratap seorang istri atau anak atau ibu atau sanak keluarga terdekatnya. Kecuali perasaan harap-harap cemas, bercampur jenuh, dan semua kepala orang-orang kampung merasa terteror sendiri, dan mereka menenangkan diri dengan istighfar dalam rapalan yang senyap. Semuanya berlangsung dalam keriuhan maha hening, keheningan yang mampu diterjemahkan oleh si tubuh kaku, dan itu terus berdenging dalam ketidakberdayaannya sejak ajal menghampirinya pada kali pertama.
Ketika seorang warga menemukan tubuh kaku yang tersuruk mengenaskan di tepian satu kubangan, yang terpikirkan olehnya pertama sekali adalah, apakah ia akan mengalami hal yang sama dengan tubuh itu suatu saat nanti? Hanya itu saja yang terpikirkannya. Tidak lebih. Tak juga sekadar pertanyaan, gerangan salah apakah orang malang ini, hingga para tukang jagal merampas hidupnya dengan cara mencabik-cabik tubuhnya sedemikian biadabnya.
Ia sadar. Inilah zaman paling kutuk bagi kampungnya, kampung sebelah, pula kampung-kampung lain yang telah bertamukan para tentara sejak bertahun-tahun lewat. Inilah zaman ketika nyawa tercerabut gampang dari satu tubuh manusia dengan cara-cara paling hina, dan itu terjadi setiap hari tanpa seorang pun tahu kapan teror paling jahanam ini berakhir. Atau, manakala telah berakhir pun, seperti hari ini misalnya, teror-teror yang pernah ada cuma berdenging dalam keheningan paling pahit orang-orang kampung. Sementara orang-orang yang di organ bentukan pemerintah itu merasa kebingungan sendiri, hendak memulai dari mana kerja pengungkapan fakta.<br /><center><hr/><em>Posted from my blog with <a href='https://wordpress.org/plugins/steempress/'>SteemPress</a> : http://bookrak.kanotbu.com/suatu-kali-kampung-kami/</em><hr/></center>