***
![IMG20180602112029.jpg](https://cdn.steemitimages.com/DQmVBKQpxDUoE2zNMzC2poxJsDBDrt9a43JgkPcFESC6ZvZ/IMG20180602112029.jpg)
_Orang masa kini hidupnya dikelilingi kabel-kabel penghantar arus listrik_
***
Saya ingin menjawab 'iya' ketika kekasih saya menanyakan perihal jaringan internet yang buruk selama lebaran. Namun waktu itu saya tidak menjawab 'iya' karena alasan pribadi. Tampaknya kali ini saya harus bilang 'iya' karena jaringan internet benar-benar payah. Saya baru sadar jaringan internet tak selancar saat lebaran lalu. Segala puji bagi Allah sebab lebaran kali ini saya tak disibukkan dengan agenda kerja yang membutuhkan internet kencang seperti sebelumnya. Saya membutuhkan jaringan internet hanya untuk berkomunikasi semata dan untuk kebutuhan memosting tulisan di sini. Tapi ternyata itu pun tidak semulus yang saya duga.

Kemarin sore, postingan yang sudah saya tulis panjang-panjang, tiba-tiba terpenggal lebih dari 75 persen setelah saya post karena jaringan yang buruk. Entah bagaimana ceritanya bisa seperti itu. Kesal, tentu saja! Tapi saya tidak ingin _ngedumel_. Bisa juga saya pulihkan ingatan untuk mengetik ulang semua cerita itu, tapi pastinya membutuhkan waktu yang tidak sebentar juga. Sementara saya sudah punya agenda lain untuk dilakukan. Akhirnya tulisan itu saya biarkan begitu saja. Ah, anggap saja itu sebagai protes, biarlah cerita tentang Apa Beurahim itu menjadi cerita yang terpenggal.

Hidup di era ini telah mengubah banyak teori. Salah satunya teori mengenai kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Jika dulu kebutuhan primer dikelompokkan menjadi kebutuhan akan sandang, papan (rumah), dan pangan dewasa ini kita perlu menambahkan jaringan telekomunikasi (baca: internet) di dalamnya. Pun perangkat telekomunikasi semacan telepon seluler yang dulu masuk kategori kebutuhan tersier kini menjadi kebutuhan primer. 

Mungkin, kita sanggup tak makan tiga hari sekali, namun akan terasa berat jika perangkat gawai kita tidak diberi makan 'kuota'. Karena itu artinya akan membuat pemiliknya _teutahe-tahe_ dan kurang update alias kudet. Ugh! Beruntunglah orang-orang seperti ibu dan nenek saya yang tak terkontaminasi internet, mereka masih bisa tidur nyenyak dan duduk dengan tenang ketika bercengkerama dengan orang lain. 
***
![nokia.PNG](https://cdn.steemitimages.com/DQmRgCxBxLvk9VCH1ayuPdnEwKvEkYEv9Rs8Xex5PasJ6hR/nokia.PNG)
<center>_[Ragam ponsel merk Nokia](https://www.idntimes.com/tech/gadget/adiputra/nostalgia-14-ponsel-nokia-jadul-kamu-pernah-punya-yang-mana-1)_<center/>
***

Ingatan saya mendadak kembali ke masa-masa tahun 90-an akhir saat saya masih SLTP. Waktu itu karena keterbatasan jarak saya harus indekos. Selama di tempat kos otomatis komunikasi dengan orang tua jadi terputus total. Kami hanya mengandalkan kontak batin untuk berkomunikasi. Buah dari kontak batin itu, setiap minggu ayah mengirimkan uang jajan melalui tetangga yang juga satu sekolah dengan saya. Dan setiap sore di akhir pekan, ayah menjemput saya untuk dibawa pulang ke rumah atau diajak makan bakso.

Kondisi itu terus berlanjut hingga saya kuliah ke Banda Aceh di awal tahun 00-an. Waktu itu _handphone_ masih menjadi produk langka, di Fakultas Ekonomi Unsyiah tempat saya kuliah yang konon katanya menjadi tempatnya anak-anak orang kaya dan bergaya, pengguna gawai juga masih sangat minim. Ponsel yang mereka pakai pun modelnya tak banyak, masih Nokia 3310 dan Siemens jadul yang sering disebut-sebut bisa untuk melempar mangga tetangga. Saya sendiri lebih dulu kenal internet sejak sebelum tsunami, baru setelah tsunami punya ponsel. Itupun dibelikan ayah tanpa pernah saya minta.


Selama masa-masa tanpa ponsel itu komunikasi dengan orang tua di kampung juga mengandalkan telepati. Ayah selalu tahu kapan uang jajan saya habis. Jika orang-orang masa kini mengirimkan uang sudah via bank, dulu ayah mengirimkannya melalui jasa L300. Saya masih ingat jelas bagaimana berdebarnya jantung ketika mendengar suara klakson mobil di depan rumah. Kemudian nama saya dipanggil-panggil. Dari bilik di lantai dua ingin rasanya saya _shortcut_ melompat agar bisa segera mengambil kiriman itu. Karena tidak punya alat komunikasi yang memadai pula, saya tak bisa mengabari orang tua pascatsunami. 

Tersendatnya aktivitas karena keterbatasan alat komunikasi yang memadai juga turut dirasakan almarhum ayah yang seorang pedagang. Seperti yang pernah saya ceritakan, sejak kami masih kecil ayah sudah mulai berdagang, selain tetap bertani. Di pengujung tahun 90-an ayah mulai berdagang kelapa sawit, berawal dari hasil panen kebun sendiri yang tanggung, jadi ayah mulai mencari-cari hasil panen kebun orang untuk dijual bersama ke pabrik. Harga kelapa sawit sangat fluktuatif, dalam sehari bisa tiga kali berubah harga.
***
![IMG20180508172137.jpg](https://cdn.steemitimages.com/DQmW5yYur2ta6BdU8qbm3M8YzCtGSJRnFJFibzZYBC5ax1p/IMG20180508172137.jpg)
_Ludo yang dulu dimainkan secara manual kini sudah menjadi produk digital yang bisa dimainkan sambil menunggu pesanan di warung kopi_
***

Betapa repotnya ayah saya ketika itu saat masih bekerja tanpa ponsel. Ketika harga tandan buah segar  turun, ia harus mengunjungi semua gudang untuk memberi tahu. Jaraknya yang jauh-jauh tak hanya membuang waktu, tapi juga menguras tenaga. Tapi itulah tantangannya. Belakangan ayah membeli sebuah ponsel merk Nokia 2600, ia juga membelikan saya ponsel mungil Nokia 3100 warna biru muda.  

Sekarang? Ah... semua serbamudah. Berkat benda bernama ponsel dan sesuatu yang tak kasat mata seperti kuota, kita bebas menjalin komunikasi dengan orang-orang yang jauh. Bahkan hingga lintas benua. Tak hanya bisa saling berkirim suara, kita juga bisa saling kirim gambar dan foto bergerak (video). Betapa canggihnya teknologi saat ini. Raga yang terpisah bermil-mil jauhnya seakan tak berarti ketika kita bisa saling menempelkan telinga atau bisa saling bertatap layar. Kita bisa berkomunikasi setiap waktu. Eh, tapi belum tentu juga, buktinya sudah dua hari ini kekasih saya tak mengirim kabar. Sabar, ini ujian![]