Tgk. Bantaqiah, sosok guru yang sangat bersahaja dan juga sangat dihormati.

 <center>![1 (1).jpg](https://steemitimages.com/DQmamtuFb6ALC7ypZZuiNvisZAvLSFnXyURi3bPo5EhGVJ5/1%20(1).jpg)<sub>[img souce](http://mediaaceh.co//upload/images/sejarah/1.jpg) Ket: Tgk. Bantaqiyah - Baju Batik - Bersama Para Muridnya. Credit: Tabloid Fokus Keadilan/Repro Haekal Afifa</sub></center><hr>

Lebaran tiba, untuk saya yang masih berusia 9 tahunan kala itu, tentu ini perjalan yang asyik, diajak pulang ke kampung halaman Ayah di Bireuen, saat itu masih Kabupaten Aceh Utara,  kami berangkat dari Kecamatan Tanah Luas, karena dulu kami tinggal di sana, lalu ayah mengajakku untuk pergi ke tempat salah seorang Teungku yang hanya beberapa hari saja menetap di Batee Raya, sebelum kembali ke Beutong Ateuh. sudah lazim ketika lebaran tiba. Maka, saling silaturahmi ke rumah sanak-family, dan juga ke tempat guru pengajian maupun sekolahan, karena itulah Ayah mengajak saya bersilaturahmi ke rumah Tgk. Bataqiah,  Mata terpana malihat sosok yang sangat dihormati itu, beliau berkain sarung dengan baju hitam, sambil mengunyah sirih satu persatu tamu mencium tangan beliau.
Giliran sayapun tiba untuk beralaman sekaligus mencium tangan beliau sebagai bentuk takzim, lalu tangannya mengusap rambutku. Hanya sebatas itu pertemuan lebaran itu.

Selain pendiam beliau juga dikenal dengan sosok yang ramah juga murah senyum, sebelum konflik yang mengakibatkan Tgk. Bantaqiah bersama puluhan muridnya meninggal dunia. 
Saya dan sang Ayah sempat ke pondok pesantren tempat beliau mengabdikan diri di Beutong Ateuh, jalannya dipenuhi kerikil, disebalah kiri badan jalan terdapat sungai mengalir dan sebelah kanan menjulang tinggi gunung. Saya tinggal disana 2 minggu lamanya untuk sekedar liburan.
Tidak ada tetangga yang tahu kami kesana, saya menutup rapat cerita ini hingga saya membagikannya disini hari ini.

Ya, karena sudah damai, dan orang tua saya telah meninggal dunia (bukan karena konflik), dan saya saat itu masih kecil, jadi tidak ada yang mesti disakiti dan berada dalam masalah nantinya, usia saya ketika kesana sekitar 12 tahun. Sudah lama betol itu.
Alam di sana masih sangat alami, sangat sejuk dan indah, ketika malam para santri larut dalam zikir, dan ketika pagi mereka bertani.
Kehidupan di sini sangat harmonis.
Setelah dua minggu berlalu, kamipun pulang, saya sudah lupa dengan tahun keberangkatan saya bersama sang Ayah ke Beutong Ateuh, Aceh Barat Sana. Tidak ada misi apa-apa kami kesana hanya *saweu* takzim untuk guru dan ada hajat di Desa Blang Marandeh yang katanya tempat Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar pernah berdiam diri di sana. Memori itu seakan membuat gelisah ketika saat sedang marak bercerita ini dan itu setelah beliau tiada, ada yang mengaku diri anak muridnya, ada yang tidak senang, saya hanya mwnghindar dan lebih memilih berdiam diri karena itu yang di pesankan.
Tak ada yang kukenal selain Tgk. Bantaqiah di sana, sanak dan kerabat Ayah pun tak bisa membayangkan wajah kecil saya waktu itu dan sayapun tak pernah berjumpa dengan para kerabat Ayah setelah Ayah tiada. Biarkan cerita ini abadi dalam memori sampai pikun mengambilnya dariku.

Dan kami sangat terpukul dengan berita yang mengabarkan bahwa beliau telah tiada 23 Juli 1999. 
Semoga Almarhum di tempatkan pada sebaik-baik tempat. Allahummagfirlahum...

19 Mei 2018, @jubagarang