Puluhan tahun lalu, sebelum traktor memonopoli sawah, para petani kerap menggunakan kerbau untuk membajak. Kerbau yang digunakan pun bukan sembarang kerbau, tapi kerbau pilihan yang punya kekuatan super.
Bagi siapa saja yang saat ini berusia minimal 40 tahun, tentu masih mengingat bagaimana syahdunya suasana dulu. Suasana komunalisme yang jarang sekali melahirkan konflik.
Kala itu, semua pekerjaan di sawah dilakukan dengan gotong-royong atawa dalam bahasa Aceh dikenal dengan istilah meu-urub.
Mungkin tradisi ini tidak saja berlangsung di Aceh, tapi juga di daerah lain di Nusantara, di mana gotong royong itu sendiri kononnya sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.
Tradisi gotong royong di sawah atawa tradisi meu-urub ini bertahan selama puluhan tahun ketika alat-alat modern belum bermunculan.
Secara historis, mungkin tradisi ini telah ada sajak zaman kerajaan, atau mungkin jauh sebelum itu, sebelum negara bernama Indonesia itu dikenal dunia.
Tradisi meu-urup ini dilakukan dengan cara bergotong-royong dan bekerjasama, di mana para petani saling membantu satu sama lain sehingga semua pekerjaan menjadi ringan. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, begitu kata pepatah zaman dulu.
Sebagai misal, hari ini para petani berkumpul di sawah milik si A untuk membajak, menanam atau pun memanen. Besoknya, mereka berkumpul di sawah milik si B untuk bergotong royong. Di hari berikutnya mereka bekerja bersama-sama di sawah milik petani lain. Begitu seterusnya sampai selesai semua pekerjaan di semua sawah yang ada di kampung.
Dalam tradisi meu-urup tidak dikenal istilah upah atau bayaran, karena meu-urup sendiri bermakna saling bertukar tenaga dan bekerja sama. Artinya, hari ini si A membantu si B dan besok si B membantu si A. Begitu seterusnya.
Namun seiring perkembangan zaman, "tradisi sosialis" semacam ini pun hilang ditelan zaman, ketika era modernisasi dimulai.
Saat ini untuk mengerjakan pekerjaan di sawah memakai sistem upah, mulai dari membajak, menanam, memupuki sampai panen; semuanya dengan sistem upah. Tidak ada lagi yang namanya meu-urup atawa gotong royong. Sekarang semuanya dilakukan nafsi-nafsi atawa dalam redaksi lain, masyarakat kita telah berubah dari "sosialisme tradisional" menuju masyarakat "modern individualis."
Mungkin kondisi ini terjadi karena dunia yang semakin modern, di mana masyarakat larut dalam arus kemodernan itu sehingga komunalisme pun punah.
Zaman telah berubah dan kebersamaan telah hilang ditelan waktu. Yang tersisa hanya kenangan.