Dua buah sepeda motor terparkir rapi disamping badan jalan desa. Saya dan ketiga orang anak saya berdiri disamping motor tersebut. Dibelakang posisi kami berdiri terhampar pemandangan sawah yang sangat luas dan baru saja ditanami. Sedangkan pemandangan di depan kami berdiri, tampaklah sebuah kebun yang sangat luas dengan latar belakang beberapa anak tangga peninggalan dari sebuah rumah. Ya! Rumah inilah tujuan kami.
Pintu gerbang menuju rumah tersebut telah tertutup dengan sangat rapat, sehingga tidak mungkin bagi kami untuk membuka atau menjangkau tempat itu. Terlebih lagi di sekeliling tempat tersebut telah dipagari kawat dengan sangat rapatnya. Huft...! Saya pun menarik nafas dalam-dalam dan melepaskannya, sebagai bentuk perasaan kecewa karena gagal masuk ke lokasi yang telah lama saya incar ini.
Setelah sekitar 15 menit kami berdiri bengong disana, tiba-tiba dari balik rumput yang memenuhi kebun tersebut, muncul seseorang yang melambaikan tangannya ke arah kami.
" bu! Sepertinya bapak itu memanggil kita..." ujar anak saya memecahkan keheningan diantara kami.
" Oh.. Ya nak, sepertinya begitu!" jawab saya dengan nada senang.
"lewat belakang nak!" bapak itu memberi petunjuk dari jauh.
Tanpa pikir panjang lagi, saya segera angkat kaki dan mengajak anak-anak mengikuti petunjuk bapak itu.
Dari samping kebun tersebut, terdapat jalan atau lorong yang melingkari kebun diantara beberapa rumah warga. Setelah melalui jalan tersebut, sampailah kami di pintu kecil atau satu satunya jalan masuk ke kebun itu.
Dari belakang, tiba-tiba kami mendengar suara seorang pemuda " buk..! Sebaiknya sebelum masuk baca do'a dulu!" anak itu memberikan sebuah "wejangan".
"kenapa nak? Memangnya ada yang kerasukan ya?" saya bertanya dengan sedikit rasa khawatir.
" hanya untuk jaga-jaga saja buk! Siapa tau ada yang lemah jiwanya! Kan gak apa-apa" pemuda itu meyakinkan kami. Dan dia pun berlalu di jalanan yang kami lewati tadi.
Kami membuka pintu pagar dengan perlahan, nampaklah si bapak tadi tengah asyik memotong rumput di halaman belakang rumah tadi.
Sebelum saya meneruskan napak tilas tentang rumah ini, ada baiknya saya ceritakan dulu kenapa saya memilih tempat ini untuk cerita saya kali ini.
Sebenarnya menulis tentang "rumah geudong" ini, seperti menguak kembali sejarah kelam tentang tragedi kemanusiaan belasan tahun silam. Saya sama sekali tidak bermaksud membuka memori kita semua akan tragedi yang terjadi di rumah ini, tetapi lebih kepada silaturahmi jiwa, sebagai pengalaman serta pembelajaran kepada anak-anak saya. Saya mengajak mereka langsung ke lokasi dimana jejak kekerasan itu sendiri terjadi.
Sebuah realita tentang perang saudara di bumi Serambi Mekah ini.
Seperti halnya cerita tentang rumah angker yang ada di Geumpang Minyeuk, rumah geudong ini juga pernah digunakan untuk menyandera dan menyiksa para tawanan pada masa Operasi Militer Nanggroe Aceh Darussalam. Bedanya adalah, bila rumah di geumpang minyeuk hanya untuk menyekap para tawanan untuk beberapa hari saja, tetapi untuk rumah geudong ini, mereka jadikan tempat atau sarang penyiksaan dan penyanderaan hingga ada tawanan yang meninggal.
" pak...! Boleh kami minta izin sebentar untuk foto-foto di tempat ini?" saya membuka pembicaraan dengan bapak ini.
" ohh... Boleh nak silahkan!" bapak ini menjawab dengan nada yang sangat ramah. Waah kebetulan nih, guys! Dapat informasi gratis gitu!.
" ini namanya rumah geudong!" bapak tadi memberi sedikit penjelasan. Saya dan dia pun terlibat tanya jawab yang cukup serius. Bapak ini, aduuuh! Saya lupa untuk menanyakan namanya, teledor banget saya ini!
Dia lalu mengisahkan tentang riwayat rumah ini yang menurutnya, rumah ini dulu milik seorang bangsawan disini diwariskan secara turun-temurun hingga kini kepemilikannya ada pada cucu perempuannya.
Terletak di desa Bili Aron Kab. PIDIE, NAD.
Rumah geudong sudah lama tidak berpenghuni, karena alasan inilah rumah ini dijadikan tempat atau pos penyanderaan bagi sebagian tawanan yang pada masa itu sering disebut dengan GPK (gerakan pengacau keamanan).
Dia lalu melanjutkan ceritanya. Background rumah geudong ini adalah sebuah rumah adat aceh pada umumnya dengan banyak tiang dan bergaya panggung. Ini dapat kita lihat dari jejaknya yang meninggal bekas tiang kokohnya.
Menelusuri setiap bagian rumah ini, saya bagaikan kembali ke masa lalu dimana kejadian tragis itu terjadi. Terbayang gak, guys? Bagaimana perasaan bagi mereka yang salah satu anggota keluarganya pernah menjadi tawanan di rumah geudong ini.
Perhatian saya beralih sebentar ke arah keberadaan anak-anak yang dari tadi luput dari pembahasan. Mereka tampak berjalan pelan menyusuri ruang dalam rumah tersebut. Ada yang sedang mengambil foto, ada yang berjalan diantara rumput yang bergoyang dan yang satu lagi sedang mengamati pohon rambutan yang tengah berbuah lebat, yaah! Mungkin dia sedang kelelahan dan sedikit lapar, maklum! Jam sudah mendekati pukul 12:00 WIB.
Kita tinggalkan mereka dan mari lanjutkan percakapan dengan bapak tadi.
" nak! Kejadian disini sudah tidak berperikemanusian, sehingga setelah mereka pindah dari tempat ini, rumah ini pun dibakar warga." jelas bapak tadi dengan nada sedih. Para sandera diperlakukan dengan sadis, orang tua dan ibu-ibu pun tak luput dari kekejaman ini. Bagi kami masyarakat Pidie, sudah tidak asing lagi dengan cerita sadis di rumah ini.
Beberapa cerita angker pun berkembang diantara masyarakat, salah satunya tentang adanya suara perempuan yang sedang menangis dari arah rumah geudong ini pada malam hari, dan suara jeritan seperti orang disiksa. Sungguh menyayat hati.
Tragisnya lagi, setelah pemberlakuan daerah operasi militer dicabut, banyak ditemukan kerangka-kerangka anggota tubuh manusia disini, dan data yang ditemukan oleh Tim Pencari Fakta tentang pelanggaran HAM. Ternyata selain penyiksaan, penyanderaan dengan sadis, juga terjadi kasus pemerkosaan terhadap ibu-ibu dan anak gadisnya. Bagaimana guys perasaan kita? Menyedihkan dan prihatin bukan? Rasanya pantas rumah ini dibakar oleh warga. Aksi ini tentunya untuk menghapuskan jejak berdarah tentang tragedi kemanusiaan di kabupaten yang terkenal dengan kerupuk mulingnya ini.
Peristiwa ini tentunya layak ditulis dengan tinta merah dalam sejarah perjalanan konflik di NAD ini.
Suara mikrofon di meunasah sudah mulai melantunkan ayat-ayat suci Al - Qur'an dan tentunya sebentar lagi azan pun akan dikumandangkan, ini artinya saya harus segera menyudahi "wawancara" dengan bapak ini.
Oke anak-anak, ayo kumpul! Kita pulang! Layaknya pembina pramuka saya memberikan aba-aba.
Kami pun berpamitan kepada bapak ini sekaligus berterima kasih dan menuju ke arah sepeda motor yang dari tadi terparkir manis di sudut jalan. Kami pun segera berlalu meninggalkan sebuah tempat yang akan dikenang oleh seluruh masyarakat Pidie sebagai tempat yang paling berdarah dan angker disini. Dalam perjalanan pulang pun kami terus membahas kekerasan di rumah geudong ini, bahkan sampai di rumah, lalu di alam mimpi kami, teruuus teruuus teruuus hingga tak terlupakan hingga anak cucu kita nanti.
Mungkin perjalanan ini akan menyadarkan anak-anak saya tentang wisata yang bermutu. Wisata atau liburan yang akan memberikan efek edukasi dan ziarah hati.
Negeri kita begitu kaya akan sejarah. Semoga kita berpeluang menjelajahinya satu persatu sebelum alam menenggelamkan dan menguburkan sejarah ini karena faktor pemanasan global dan perubahan iklim.
Selamat membaca!
Salam steemit indonesia!