Lima Akar Persoalan Etik Dalam Jurnalistik | Five Roots of Ethical Problems in Journalism | The End | by ayijufridar

View this thread on steempeak.com
· @ayijufridar ·
$34.29
Lima Akar Persoalan Etik Dalam Jurnalistik | Five Roots of Ethical Problems in Journalism | The End |
![Bersama AR Djuli.jpg](https://cdn.steemitimages.com/DQmYmRG5CHnhLuZPqYFfjPMAzc5a8D7a1uieweZQrEnjNMJ/Bersama%20AR%20Djuli.jpg)
_I am and Pak AR Djuli, an elderly journalist in Aceh._

***
Setidaknya ada lima hal yang menimbulkan persoalan etik dalam jurnalistik.

### Rendahnya sikap profesionalisme
Sebagai pilar demokrasi keempat, hadirnya wartawan adalah sebuah keharusan. Namun berapa banyak wartawan yang bisa bersikap profesional. Di Aceh Utara,  misalnya, ada sekitar 150-an orang yang memegang kartu pers dan mengaku sebagai wartawan. 

Namun, sebagian besar tidak pernah atau jarang menghasilkan karya jurnalistik. Menjadi wartawan adalah profesi sampingan yang diambil karena mengandung sejumlah “kemudahan,” seperti akses ke semua kalangan atau kemudahan memperoleh informasi bernilai ekonomi. Kartu pers yang diperoleh dengan membayar sampai Rp 800 ribu, bukan digunakan untuk mendapatkan informasi dan menyiarkannya kepada masyarakat, tapi justru memperoleh uang dengan kartu pers semata. Celakanya, dalam gambaran  masyarakat awam seperti inilah wartawan sesungguhnya. 

Sikap profesionalisme wartawan seharusnya timbul dari diri sendiri, sebelum terbentuk oleh budaya perusahaan tempat wartawan bersangkutan bekerja. Namun bagaimana bisa mengharapkan sikap itu muncul dari dalam diri wartawan sementara budaya perusahaan juga memberi peluang sikap negatif wartawan tersebut. Praktek jual beli kartu pers merupakan jalan tol bagi timbulnya praktek amplop. Wartawan seharusnya dibayar dan ditanggung kesejahteraannya oleh perusahaan, bukan malah  membayar perusahaan. Bayaran ke perusahaan hanyalah berupa karya jurnalistik.  


### _Punishmant_
Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kode etik, membuat praktek itu selalu terulang. Mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah, mengatakan lembaga itu tidak mempunyai kewenangan untuk memberi sanksi terhadap pelanggaran etik. Dewan Pers hanya menampung keluhan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers dan kemudian menyampaikan kepada media bersangkutan. 

Penulis buku _Komunikasi Adab_ yang juga wartawan, Wahyu Wibowo, mengatakan kode etik semacam KEWI itu memang tidak punya gigi sepanjang Dewan Etik mandul. Ia menyarankan para wartawan bekerja sesuai etika nurani masing-masing. 

Idealnya, setiap media mempunyai ombudsman, pihak yang menjembatasi konsumen media dengan redaksi. Namun tidak banyak media yang mau menghadirkan ombudsman yang mereka gaji justru untuk menilai kinerja mereka sendiri. Ombudsman adalah orang independen yang berada di luar struktur keredaksian. Salah satu tugasnya adalah menampung keluhan pembaca dan menyampaikannya ke redaksi. Ombudsman juga bisa memeriksa berita yang tidak akurat atau merugikan pihak lain dan kemudian mengingatkan redaksi.   

Sesungguhnya, ada sanksi yang lebih berat ketika terjadi pelanggaran etik oleh wartawan. Sanksi itu datang dari masyarakat dengan memboikot media bersangkutan. Tanpa pembaca atau pemirsa, sebuah media akan kehilangan pasar dan kemudian tidak bisa tumbuh. Tapi sangat sulit mengharapkan adanya sanksi kolektif seperti ini. 


### Pemahaman etik rendah
Tidak semua wartawan memahami etik dengan baik. Bahkan kalau ditanyakan kepada 10 wartawan yang sudah tahunan menggeluti dunia jurnalis, ada berapa kode etik wartawan, mungkin empat di antaranya tidak bisa menjawab dengan benar. Pemahaman etik tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dibandingkan dengan kemampuan jurnalistik. Ketika dilakukan seleksi penerimaan wartawan baru, masalah etik terkadang diabaikan sehingga tidak menjadi materi dalam proses seleksi. Kalaupun ada, terkadang hanya dilakukan sepintas.


### Interpretasi etik yang bias
Masalah etik terkadang diterjemahkan secara berbeda oleh masing-masing wartawan atau organisasi jurnalis. Masalah amplop, misalnya, ada wartawan atau media tertentu yang memandang tidak apa-apa diterima sejauh tidak berkaitan dengan berita. Ada juga wartawan yang menilai amplop hanya sebatas menerima uang dari narasumber. Pemberian lainnya seperti barang-barang berharga, dianggap bukan bagian dari amplop. 

Etis tidaknya sebuah produk jurnalistik juga diterjemahkan secara berbeda pada masing-masing media. Sebuah media senang menonjolkan gambar-gambar vulgar yang sarat dengan kekerasan. Gambar korban tembak dengan isi perut terburai, ditampilkan di media cetak. Saat ada yang menanyakan, media tersebut beralasan bahwa gambar itu adalah sebuah fakta. Mereka menambahkan, untuk penampilan gambar berdarah-darah itu sudah dilakukan pooling pembaca. 
Sebagian besar pembaca tidak mempermasalahkan penampilan gambar seperti itu. 

Pertama, benar bahwa gambar berdarah-darah itu sebuah fakta. Tapi tidak semua fakta harus ditampilkan di media yang dikonsumsi semua kalangan, termasuk anak-anak dan korban traumatis. Kedua, kendati hasil pooling menunjukkan pembaca tak mempersoalkan gambar berdarah-darah, tetapi bukan berarti redaksi bisa begitu saja menyiarkannya. 

Pooling itu hanya mengambil sampel dari populasi, dan tidak selalu menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Bahkan kalau dalam pooling yang diambil populasi dan semuanya menyukai gambar-gambar vulgar, redaksi tetap harus selektif menyiarkan gambar. Pertanyaannya, kalau konsumen pembaca sedang sakit, apakah redaksi juga ikutan harus sakit demi pertimbangan oplah? 
Selayaknya media menjadi “obat” bagi pembaca yang sakit.    


### Standar etik yang berbeda          
Sesuatu yang dipandang etis di suatu daerah, bisa jadi tidak atau kurang etis di daerah lain. Kondisi ini bisa menimbulkan persoalan etik di lapangan. Penyiaran gambar-gambar berbikini tidak jadi masalah bila muncul di media asing. Tapi bila gambar serupa itu muncul di koran terbitan Aceh, pasti akan menuai protes dan mungkin saja demonstrasi. Karena itu wartawan yang akan ditugaskan di daerah lain dengan latar belakang budaya berbeda, harus mempelajari budaya di wilayah liputannya.

Liputan wartawan selama bencana tsunami juga sering menimbulkan persoalan etik serius. Wartawan kerap memaksakan diri menanyakan korban tanpa mempedulikan kondisi psikologisnya. Akibatnya, ada wartawan yang didamprat korban tsunami ketika mengajukan pertanyaan. Di lain pihak, wartawan dinilai tidak memiliki empati dan hanya mengeksploitasi penderitaan korban.[***]        

### _The end....._
***
![Bogor Tengah-20120424-00524.jpg](https://cdn.steemitimages.com/DQmd2TuJDy4Sj1X4o6n4mL5ELJsfqLiv1pJ3qSQBdwv5iSX/Bogor%20Tengah-20120424-00524.jpg)
👍  , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,
properties (23)
post_id93,705,756
authorayijufridar
permlinklima-akar-persoalan-etik-dalam-jurnalistik-or-five-roots-of-ethical-problems-in-journalism-or-the-end-or
categoryhive-105209
json_metadata{"tags":["betterlife","steemliteracy","steemamal50pc","indonesia","steemexclusive","zzan","steemzzang"],"image":["https:\/\/cdn.steemitimages.com\/DQmYmRG5CHnhLuZPqYFfjPMAzc5a8D7a1uieweZQrEnjNMJ\/Bersama%20AR%20Djuli.jpg","https:\/\/cdn.steemitimages.com\/DQmd2TuJDy4Sj1X4o6n4mL5ELJsfqLiv1pJ3qSQBdwv5iSX\/Bogor%20Tengah-20120424-00524.jpg"],"app":"steemit\/0.2","format":"markdown"}
created2021-09-02 17:28:24
last_update2021-09-02 17:28:24
depth0
children0
net_rshares47,600,106,413,264
last_payout2021-09-09 17:28:24
cashout_time1969-12-31 23:59:59
total_payout_value11.473 SBD
curator_payout_value22.818 SBD
pending_payout_value0.000 SBD
promoted0.000 SBD
body_length6,448
author_reputation301,995,172,040,201
root_title"Lima Akar Persoalan Etik Dalam Jurnalistik | Five Roots of Ethical Problems in Journalism | The End |"
beneficiaries
0.
accountsteem.amal
weight5,000
max_accepted_payout1,000,000.000 SBD
percent_steem_dollars10,000
author_curate_reward""
vote details (31)