![IMG-20160325-WA0002.jpg](https://cdn.steemitimages.com/DQmUiu1Zh9MsZWVTcVcDbji7vtAqWC6nU9Wbe1VbwZLEbxo/IMG-20160325-WA0002.jpg)
SATU KALI waktu, ia merasa sudah tak tahu lagi mau menulis apa. Semuanya serasa sudah ditulis. Apakah yang ia tulis sendiri atau ada orang lain yang menuliskannya. Segala hal di dunia telah tertuliskan. Apakah itu tentang daun yang berguguran, perang, hidup miskin, kedunguan, politik, kopi, asam pedas, ilmu pengetahuan, terumbu karang, upil, yang cabul, *meuruwa* atau jamban, berikut kentut beserta hajat-hajat yang mutlak harus dibuang umat manusia sehari sekali, mungkin juga lebih.
Saat-saat seperti itu ia merasa pikirannya tandus. Setandus persawahan Cot Panah yang dikepung kemarau panjang. Tak hanya tandus, pikirannya juga kering. Beku. Tak ada sedikit pun angin menyegarkan suasana, dan ia bisa merasakan sendiri saraf-saraf di kepalanya gerah. Bulir-bulir keringat keluar dari sel-sel saraf itu. Bulir-bulir keringat yang meninggalkan jejak asin di kepala, perihal yang memungkinkan hawa di pikirannya tak ubahnya seperti tanah derita yang baru ketiban bencana.
Ada kekalutan tak terperi. Ia nelangsa. Lantas bertanya-tanya, "Mau diapakan pikiran yang hampa begini rupa?" Sementara kehendak menulis masih saja membuncah, dan lagi-lagi ia terjebak dengan pertanyaan semula, "Mau kutulis apa lagi?" Ia sadar pertanyaan itu adalah pertanyaan paling purba dalam dunia tulis menulis. Dan seseorang yang sedang belajar menulis harus selalu bisa mencari jawabnya seketika tanya itu timbul di kepala. Jika tidak ingin proses belajar menulisnya buyar di tengah jalan tanpa menghasilkan apa-apa.
![P_20160508_095121.jpg](https://cdn.steemitimages.com/DQmXirqwjUQZmh66ZXxRUYkRNo2v51McwwqmigX9avvgNdg/P_20160508_095121.jpg)
"Cara-cara mengatasi hampa pikiran," kalimat itulah yang ia ketik di laman mesin pencari, hal yang entah bagaimana ia rasa bisa mengatasi kekalutannya saat itu. Setelah *loading* lama mesin pencari di layar komputer jinjingnya menampakkan layar kosong tanpa hasil apa-apa. Lantas ia melanjutkan dengan kalimat lain, "Kering ide, aku harus bagaimana?" Kali ini mesin pencari berhasil memberi beberapa rujukan laman yang sesuai dengan deretan kata kunci itu. Ia periksa satu-satu. Hingga pada laman rujukan yang ke empat ia mulai bosan sendiri sebab tak ada satu pun isi diantaranya yang bisa mengairi persawahan tandus Cot Panah di kepalanya.
Benarlah kata orang bijak. Tak ada ikhtiar tanpa menghasilkan apa-apa. Kecuali kau memang malas berusaha. Maka deret kata kunci yang kedua itulah kemudian yang menjadi ilhamnya. Dan ia mulai mencari-cari cara bagaimana mengurai persoalan kekeringan ide dalam sebuah tulisan. Ini masalah lain lagi rupanya. Ia sadar pikirannya kini adalah kebalikan dari *tagline* kantor Pegadaian. Mengatasi masalah dengan masalah.
Perkara lain datang. Mengatasi masalah dengan masalah malah menjadi perihal yang membuat pikirannya seperti dikepung sesuatu akar masalah paling pelik. Tapi ia senang juga dengan kenyataan begitu macam. Setidaknya kekeringan pikirannya yang tak tahu mau menulis apa sudah mulai sedikit dihembusi angin segar. Dan sisa garam dari bulir-bulir keringat saraf-saraf di kepalanya menguar pelan di udara.
Hanya saja nelangsa itu masih berkutat saja. Kekalutan itu makin jeri belaka. Itu dirasakannya ketika ia mulai membuat gambaran besar tulisan yang hendak dituliskannya. Ia memulai dengan pertanyaan pertama yang timbul di kepala. "Mau kutulis apa lagi?" Lalu lanjut dengan pernyataan; "Cara-cara mengatasi hampa pikiran." Kemudian pertanyaan lanjutan seperti yang diketiknya pada kotak mesin pencari, "Kering ide, aku harus bagaimana?" Dan sebagai penutup pernyataan; "Mengatasi masalah dengan masalah," ia pikir adalah suatu urusan yang harus ia jabarkan pula dalam tulisannya.
Celakanya. Ia harus memulai dari mana? Ihwal yang menyebabkannya menyumpahi dirinya sendiri saat ini. Ihwal ia tersadar, pertanyaan pertama telah menimbulkan banyak pertanyaan lanjutan, alih-alih mendapatkan satu dua jawaban. Beginikah sejatinya hampa pikiran? Kenapa pertanyaan banyak timbul ketika pikiran sekering ini? Harus ia kemanakan sebanyak itu pertanyaan? Lalu kembali lagi, "Apa yang hendak kutulis sekarang?"
> Lalu: *Pap asee!* Persetan dengan segala tanya. Terkutuklah ide-ide. Celakalah perasaan tak tahu mau menulis apa. Ia tulis apa saja yang dirasanya. Menyatulah ia dengan sumpah serapah di kepala. Hingga di akhir tulisannya ia tulis satu kalimat sederhana yang semua hurufnya ia bikin tebal, kapital. **TERIMA KASIH SUMPAH SERAPAH.**