<img src="https://images.unsplash.com/photo-1489844097929-c8d5b91c456e?ixlib=rb-0.3.5&ixid=eyJhcHBfaWQiOjEyMDd9&s=98b1cd2ea86a7b4796275ef13aadafbf&dpr=1&auto=format&fit=crop&w=1000&q=80&cs=tinysrgb" alt="A pair of glasses on top of a laptop with a phone on one side and a mouse on the other" /><br/>
<a href="https://unsplash.com/photos/wn-KYaHwcis">source</a>
Langkah ringannya terhenti di ambang pintu. Dia membalikkan badan, berjalan cepat menuju ke arah dapur. “Bi Nar, ada laptop sama hp siapa, di kamar saya?” tanya Mara pada Bi Nar, seorang pembantu di rumah Pakde.
“Engga tahu, Mbak. Disuruh Bapak taruh di situ tadi,” sahut Bi Nar.
“Pakde di rumah sekarang?” Jantung Mara mulai berdenyut kencang.
“Di dalam sama Ibu.”
“Waktu itu Tama ketemu Mara di stasiun?” Suara Bude Parman terdengar sangat marah.
Mara bergegas masuk ke ruang dalam. Jantungnya semakin cepat berdetak, melihat wajah Bude Parman yang berubah masam, ketika melihatnya masuk.
“Maaf Pakde ... di kamar ada laptop sama hp?” tanya Mara lirih karena takut.
“Oh iya ... sini sebentar! Tadi Pakde ketemu Pak Tama, pemilik lapangan futsal tempat kamu nanti bekerja. Waktu Pakde bilang, kamu tidak terlalu menguasai komputer, Pak Tama bilang kamu harus belajar dulu. Nanti kalau kerja, jadi sudah terbiasa.”
Wajah Bude Parman melengos, ketika tanpa sengaja Mara melihat ke arahnya, minta persetujuan Bude.
“Biar gampang kemana-mana, kamu juga akan dipinjamkan motor perusahaan, kamu sudah punya SIM?”
Mara terpengarah sesaat. Dengan mulut terbuka Mara menggeleng. Apa ini arti mimpi indahnya semalam!
“Besok kita bikin SIM dulu,!” kata Pakde Parman lagi.
Lagi-lagi Mara melihat ke arah Bude Parman. Wajah Bude Parman terlihat murka.
“Tapi Pakde –“
“Kamu kalau disuruh jangan kebanyakan protes! Besok bikin SIM sana, sama Pakde!” sela Bude Parman dengan alis berkerut dalam.
Pakde Parman tersenyum. “Tidak apa-apa, Mara. Ini semua kemauan Pak Tama.”
“Iya Pakde ... terima kasih banyak .... Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada Pak Tama ... saya mau ke kamar dulu ... permisi Bude.”
“Kamu sudah makan?” tanya Pakde Parman lagi, sebelum Mara membalikkan tubuhnya.
“Iya Pakde. Bude,” Mara menganggukkan kepalanya dengan penuh hormat pada Bude Parman.
Alis Bude Parman hanya terangkat sedikit.
“Tama perhatian sekali, sama anak kampung itu,” Mara mendengar suara marah Bude Parman. “Biasanya dia engga pernah, merhatiin calon pegawai sampai seperti ini.”
“Ya, sudahlah Ma ... suka-suka dia aja. Dia memang baik kok. Kalau engga baik, apa iya kita dipinjamkan rumah ini selama bertahun-tahun.” Mara semakin menjauh, namun jawaban Pakde Parman masih sempat terdengar olehnya.
“Pasti itu karena keponakan kamu. Waktu keponakanku, Hesti, dia tidak bertindak sampai sejauh ini,” gerutu Bude Parman dengan suara keras. “Pa, aku engga mau lewat rel itu lagi! Bulu kudukku berdiri semua, .”
“Lho! Mau lewat mana lagi?”
“Cari jalan lain, dong! Gimana sih! Kok laki-laki pendek akal.”
Suara Bude Parman terdengar makin kecil. Mara menarik nafas panjang. Merasa kasihan pada pakde. Bi Nar dan teman-temannya sering bercerita. Sikap Bude Parman sangat galak pada pakde.
Nyonya besar, sebutan bude, di antara Bi Nar dan teman-temannya, sangat kasar pada suami. Sedangkan sikapnya pada keluarga dan para keponakannya dari pihaknya sendiri, luar biasa baik dan ramah.
<img src="https://images.unsplash.com/photo-1442407764823-a91dd726a7f2?ixlib=rb-0.3.5&s=308f9dfe1210af2e86eef4cc72e4a28f&dpr=1&auto=format&fit=crop&w=1000&q=80&cs=tinysrgb" alt="grayscale photo of birds" /><br/>
<a href="https://unsplash.com/photos/mqc_ocLIUYw">source</a>
<em>Subhanallah. Subhanallah</em>. Mara mengucapkan kalimat itu dalam hati. Perasaan prihatin berangsur-angsur mereda. Dia mulai bisa mengulas senyum di bibir. <em>Subhanallah, wa</em><em>lhamdulillah</em><em>, wastaghfirullah</em><em>. Allah baik sekali sama aku. Sudah menggerakkan hati Pak </em><em>T</em><em>ama</em>. Dengan langkah riang, bergegas dia memasuki kamar.
Tersedia lima flashdisk kosong. Dia memeriksa program yang ada dalam komputer. Hatinya memekik gembira. Semua program yang dipelajarinya di tempat kursus tersedia. Ditambah beberapa program yang belum dipelajarinya.
Dengan gembira dia memindahkan lagu yang telah diunduhnya dan disimpan dalam data base komputer. Dia mulai mengunduh lagu-lagu lain. <em>Subhanallah, wa</em><em>lhamdulillah</em><em>, wastaghfirullah</em><em>. </em> Kalimat itu diucapkannya terus menerus dalam hati dengan gembira.
“Mara, makan dulu,” kata Bi Nar seraya masuk ke dalam kamar Mara.
“Iya, Bi. Sebentar lagi.”
“Tadi pagi kamu engga sempet sarapan, bantuin Bibi di gudang. Ayo makan dulu, sekarang sudah jam lima,” ujar Bi Nar lagi mengingatkan. “Sudah sholat Ashar?”
“Sudah Bi.”
“Ayo makan dulu! Nanti kalau kamu sakit repot lho,” lanjut Bi Nar memaksa dengan lembut.
Dengan enggan, Mara mengambil makanan di dapur. Tanpa sengaja dia berpapasan dengan Lestari, anak Pakde Parman. Lestari melihat ke arahnya sekilas, langsung meninggalkan dapur. Seolah tidak ada orang di dapur.
Senyum Mara berhadapan dengan tembok dapur. Dia menarik nafas panjang. Padahal saat kecil, mereka sangat akrab. Namun semakin meningkatnya perekonomian pakde, Lestari dan bude semakin jarang pulang ke kampung. Beberapa tahun menjelang kematian kakek dan nenek, pakde hanya sendiri, kalau pulang kampung saat lebaran.
Sudah hampir sebulan dia di sini, namun inilah pertama kali dia bertemu dengan Lestari secara langsung. Biasanya dia hanya melihat dari kejauhan. Banyak sekali teman Lestari.
Dia sering diantar oleh teman laki-laki yang berbeda-beda. Lestari jauh lebih cantik dan putih, ketika dilihat dari dekat. Dia menghirup aroma lembut yang menyebar di udara. Menyukai wangi yang ditinggalkan sepupunya di dapur.
<em>Tidak apa-apa, Mara. Tidak apa-apa, Mara</em>.<em> Semuanya sempurna</em>. Dia berusaha menghilangkan perasaan tidak menyenangkan dalam hatinya, dengan mengulas senyum di bibir.
<em>Alhamdulillah, ada komputer di kamar. Alhamdulillah aku punya banyak flasdisk kosong.</em> Pembelokan pikirannya, mulai kembali menumbuhkan rasa gembira dalam hati. Apalagi seolah diingatkan, akan dipinjamkan motor perusahaan dan dibuatkan SIM.
“Oh iya Mara, Bibi hampir lupa, ada surat untukmu,” kata Bi Nar sambil menyerahkan amplop coklat. “Keliatannya penting sekali, dikirim dengan jasa pengiriman.”
Mara membalik amplop. Dari Tuti sahabatnya. Tertera SANGAT PENTING. Ditulis dengan spidol merah. Hatinya berdebar-debar. Dengan langkah lebar dia bergegas menuju kamar.
<strong>Jangan Lupa Bahagia</strong>
Bandung Barat, Selasa 17 Juli 2018
Salam
Cici SW<br /><center><hr/><em>Posted from my blog with <a href='https://wordpress.org/plugins/steempress/'>SteemPress</a> : https://cicisw.com/2018/07/17/novel002-016/</em><hr/></center>