![IMG_20180519_194903.jpg](https://steemitimages.com/DQmS9tHsc3fwHeAwfBpUKHN9NDyiqHTYe5DiqBiw6ciU42a/IMG_20180519_194903.jpg)

LANGSUNG SAJA kita telusuri meja makannya. Sekira 20 menit jelang buka puasa, itu meja makan sudah menyerupai peta provinsi Aceh dengan beberapa kantor perwakilan daerah lain terletak di beberapa sudut. 

Ada Mie Caluek Grong-grong, ada Kanji Pidie, Ie Jok Seulimum, Ruti Silee Samahani, Kuah Beulangong Aceh Rayeuk, Sate Matang. Lalu ada juga Ade Meureudu, Leumang Lamno, Limbek Tumeh Nagan, Mie Gureng Leupueng, On Peugaga Peurlak, Taleueng Teupeuda Rigah, Teurasi Langsa, Lincah Kuta Blang, Boh Manok Kocok Manyak Payet, dan pelbagai jenis makanan lintas daerah lainnya. Yang kalau disebut satu-satu, semua Kabupaten di Aceh terwakilkan dengan sempurna, mulai dari Simeuleu, Singkil, Bakongan hingga Tamiang. 

Itu belum seberapa jika belum ditambah dengan rupa-rupa makanan dan minuman interlokal lainnya seperti Es Dawet Bandung, Mie Pattaya, Sate Padang, dan Nasi Liwet Jogja, dan satu lagi tak boleh alpa; Mie Bokom ala Jakarta. Yang terakhir adalah menu utama saat-saat indekost di Jakarta dulu, berupa mie instan lintas merk yang diseduh dengan air panas campur micin, campur saos, cabai rawit dan sedikit daun selidri jika pun tersedia. 

Rupa-rupa makanan itu hanya tersaji di meja makan selama bulan Ramadhan saja. Tak pernah bisa ditemui di meja makan dalam pesta makan besar apa pun. Kecuali jika ingin dicari persamaannya bolehlah beragam makanan itu hampir sama dengan menu yang terdapat pada Khanduri Rayeuk (baca: pesta makan besar) HUT ke-40 Korps Marechausse, kesatuan tentara bayaran milik kolonial Belanda untuk menaklukkan Aceh, yang pernah diselenggarakan dengan gempita di Ballroom De Witte, Gravenhage Belanda, pada 2 April 1930. 

![IMG_20180519_211403-01.jpeg](https://steemitimages.com/DQmPU8NSXuvyN573LQXt7JXTj36DxTKWjF4DvdXL2gvu33z/IMG_20180519_211403-01.jpeg)

Itu pesta peringatan yang meliputi sepuluh tahap makan para tamu undangan demi mengenang, setidak-tidaknya merasa telah menaklukkan negara jajahan, perang panjang yang berdarah-darah di Aceh. Sebagaimana tertulis dalam buku Atjeh karangan H. C. Zentgraaff, kesepuluh tahapan makan itu menyajikan menu-menu berupa; pelbagai bahan makanan yang dikumpulkan di ladang penaklukan, seperti *boh manok,* lobak, dan sebagainya untuk makan tahap pertama. 

Tahap makan selanjutnya berturut-turut menyajikan, *Cicem Seu-uem Sijuek* dari Meulaboh, *Ie Krueng Pidie*, *Eungkot Siblah Rayeuk* dari Laut Tawar, *Peucok Reubong* Pameue, *Minyeuk Leumo* dari Geumpang, *Manok* dan Air Tebu, makanan lemper macam *Kaphe Masuse*, *Boh Kayee* Bakongan, dan menu penutupnya adalah *Meulisan* Seunagan.

Meski tak punya kerterkaitan langsung dengan pesta makan besar peringatan kesatuan tentara bayaran terkutuk itu. Apa yang tersaji di meja makan jelang buka puasa menunjukkan satu pola yang sama. Pola perayaan atas suatu penaklukan. Bahwa lapar yang telah takluk di siang hari sudah musti dirayakan dengan makan besar yang gegap gempita. Dan sekali lagi, rasa lapar itu tumpas dalam sekali duduk. Kenyang mendera tubuh membikin bulu kuduk meremang spontan, sebelum rupa-rupa makanan itu tersantap semua. 

> Sampai di sini, kita tak ubahnya raja tua yang punya obsesi mengoleksi ratusan gadis di harem istana, lalu sudah keduluan keok sebelum tiba pada puncak acara malam senggama.