![image](https://img.esteem.ws/g1nkwnqla1.jpg)

<h3>"Ihwal kunamakan kucing jantan itu Musashi yaitu setelah ia bertarung dengan seekor kucing hitam  liar pada sebuah malam akhir September lalu.</h3>

<hr>

Aku tidak sempat mengabadikan pertarungan itu dalam sepotret dua potret foto. Selain karena gelap, juga karena *smartphone* sedang aku cas dalam rumah. Pertarungan terjadi di halaman, di bawah pohon mangga, ketika aku sedang menikmati semilir angin malam sambil merokok. 

Menonton pertarungan dua ekor kucing jantan, yang warna bulunya berlawanan itu; satu gelap, satunya lagi terang, aku sama sekali tak memihak. Aku menonton begitu saja, tanpa bermaksud melerainya, kecuali meneguhkan dalam hati: keberpihakanku akan kucetus nanti seusai pertarungan. Dan keberpihakan yang kuambil adalah paling normatif, yaitu kepada pemenanglah aku akan menaruh hormat, hingga setelah kucing putih belang berhasil menang dengan spontan kupanggilnya dengan nama Musashi.

![image](https://img.esteem.ws/sv0bnqy57w.jpg)

>Duel dua kucing jantan itu adalah duel penuh dendam. Kukira keduanya sedang memperebutkan seekor betina. Atau boleh jadi si kucing hitam sedang memberi semacam perhitungan kepada si jantan putih belang karena telah berani mengganggu pacar betinanya ketika ia tidak ada. 

Ini dapat kusimpulkan karena yang pertama sekali menyulut perkelahian adalah si kucing hitam. Sekonyong-konyong ia terkam tengkuk Musashi dalam sebuah lompatan yang sangat cepat. Musashi yang tak tahu menahu akan adanya serangan tiba-tiba, tentu tak sempat memasang kuda-kuda dan ia terpelanting hingga ke batang pohon mangga. 

Selanjutnya adalah duel maha seru. Musashi bangkit dari serangan pertama dan mendengus kejam setelah menyadari bulu tengkuknya yang rapi rontok dan beterbangan di udara. Si kucing hitam berjalan perlahan ke depan Musashi dengan tatapan paling awas yang dipunya seorang pendekar petarung. Ia memeong keras, seolah-olah sedang merubah wujud menjadi seekor harimau yang buas. 

Kucing hitam kembali melompat untuk serangan kedua. Dua kaki depannya membuka, membentuk dua serangan cakar yang sangat berbahaya. Tapi Musashi yang sudah bersiap dengan segala kemungkinan, malah memanfaatkan serangan kucing hitam begitu rupa sebagai celah untuk balik menyerang. Pangkal leher si kucing hitam yang terbuka dijadikan sasaran taringnya. Tepat ketika lompatan kucing hitam tinggal sepersekian detik lagi mendarat di atas tubuhnya, ia balik melompat untuk menerkam pangkal leher itu. 

![image](https://img.esteem.ws/ycrdwily65.jpg)

Kucing hitam mengerang. Ia alpa dengan pertahanan tubuhnya sendiri ketika menyerang untuk kali kedua ini. Cakar kakinya hanya mampu menggores dua sisi punggung Musashi. Tapi Musashi malah membiarkannya sedemikian rupa, sebab taringnya telah berhasil menancap di pangkal leher sang lawan. Persis seperti yang ia inginkan. Sesaat pergumulan terjadi, keduanya bergulingan. Kentara terlihat kucing hitam berusaha melepaskan diri dari terkaman Musashi. 

Darah tercecer. Erangan kucing hitam menyayat seperti menegaskan penyesalan atau malah minta ampun. Musashi masih membekap leher itu dengan mulutnya, seperti seorang pria yang keterlaluan nafsu ketika melumat leher perempuan pasangannya. Dan itu benar-benar menghasilkan semacam 'cupang' yang berdarah-darah. Musashi berpuas diri, ketika perlawanan kucing hitam makin melemah. Ia melepaskan terkamannya dan kini mundur pelan-pelan dari pertarungan sambil matanya yang tajam tetap mengawasi kucing hitam yang terkapar. 

Aku mendekat. Perasaan iba kepada si kucing hitam yang tersungkur lemah setelah cari gara-gara hadir berbarengan dengan perasaan bangga kepada si putih belang karena gaya bertarungnya yang cukup elegan. Selangkah lagi posisiku dengan si kucing hitam, ia malah melompat pergi. Berlari tunggang langgang ke sebalik pohon mangga, menyelinap dalam rimbunan semak dan menghilang dilumat gelap malam. 

Kucing putih belang tetap tinggal. Ia memeong lirih kini. Menggelendot manja di betisku, setelah kuangkat tubuhnya ke teras rumah, sekadar memeriksa kondisinya di bawah terang lampu. Ada sedikit luka di tengkuknya berikut goresan cakar di dua sisi punggungnya. 

![image](https://img.esteem.ws/11gwumwfbg.jpg)

"Musashi... ckckckckc... Ckckckckc.. Musashi," kataku ketika ia sudah mau beranjak pergi. Ia menoleh, mengeong lirih, lalu secepat kilat ia berlari ke arah mana si kucing hitam menghilang. 

Esoknya, ketika kubuka pintu rumah kali pertama di pagi hari, kutemukan Musashi meringkuk dengan gaya khas penduduk kucing sedunia. Sejak saat itu hingga kini, Musashi datang kerumahku setiap pagi, mengeong-ngeong sendiri, mondar mandir kesana kemari, celingukan, makan siang, mengeong-ngeong lagi, mondar-mandir lagi, celingukan lagi, dan ketika azan maghrib berkumandang, ia menghilang ke tempat yang entah.[]